Oleh : Ali Mobiliu
Jurnalis, Pemerhati Budaya Gorontalo
Penulisan kata “Gorontalo” ke dalam bahasa aslinya, hingga saat ini masih belum ada keseragaman yang seakan-akan menggambarkan, bahwa masyarakat Gorontalo tidak memiliki rujukan, pedoman dan acuan yang baku.
BUKTINYA, selama ini di berbagai media massa, di baliho, spanduk, brosur, leaflet bahkan dalam naskah-naskah yang diterbitkan oleh lembaga pemerintahan pun, terdapat berbagai versi penulisan.
Ada yang menulis kata HULONTALO, HULONDTALO, HULONDALO, HULONTHALO dan tidak jarang ada juga yang menuliskan kata HULONTDALO.
Memang dari segi pengucapan, semua kata tersebut, bunyinya hampir sama, namun dari segi tulisan, jelas sangat berbeda.
Perbedaan penulisan kata Gorontalo dalam bahasa aslinya tersebut, selama ini memang tidak ada yang mempersoalkan dan dianggap menjadi hal yang biasa bahkan tidak penting. Memang, sesuatu yang salah, namun bila sering digunakan akan menjadi benar atau menjadi sebuah kebenaran, sementara yang benar tapi , tapi jarang digunakan akan terasa aneh.
Ke depan, hal itu harus dikoreksi, diluruskan dan diperbaiki agar ada keseragaman penulisan guna memunculkan perspektif yang baik, bahwa masyarakat Gorontalo, memiliki acuan yang benar-benar bersumber dari akar sejarah Gorontalo itu sendiri.
Bagi sebagian kalangan, penulisan yang dianggap benar adalah kata “ HULONDTALO” yang merupakan padanan dari kata “Holland dan Tallo”. Jika dicermati, klaim ini yang paling mendekati kebenaran, karena memiliki asumsi sejarah yang mendasarinya, yakni terkait erat dengan sejarah kedatangan Belanda (VOC) ke Gorontalo beserta kondisi geografis daerah ini pada zaman dulu.
Saat menginjakkan kakinya di bumi Gorontalo, khususnya di Kota Gorontalo sekarang, Belanda menyebut daerah ini sebagai negeri “Holland” di Kerajaan Tallo, yang kemudian dieja menjadi “Hulondtalo”.
Hal ini bermula dari penulisan yang dipengaruhi oleh Ejaan Van Ophuijsen (EVO) yang digunakan untuk menuliskan kata-kata dari Rumpun Bahasa Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, atau ejaan yang menghasilkan bunyi yang mirip tuturan Belanda.
Dalam ejaan ini, huruf hidup yang diberi aksen trema atau dwititik diatasnya menandakan, bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata bukan diftong, sama seperti ejaan Belanda sampai saat ini.
Selain “Hulondtalo” yang kemudian menjadi Gorontalo, juga terdapat beberapa kawasan di daerah ini yang tetap masih menggunakan peninggalan Belanda, seperti “Pohuwayama” yang saat ini dikenal dengan Paguyaman, “Pohuwata” yang kemudian menjadi Paguat dan Huta Bumbu yang berubah menjadi Bumbulan.
Selain itu, terdapat beberapa faktor penunjang yang menjadi bukti, mengapa Gorontalo disebut sebagai negeri “Holland” di Kerajaan Tallo, antara lain :
Pertama, secara geografis, Gorontalo, khususnya Kota Gorontalo merupakan dataran rendah dengan ketinggian ± 0-500 M di atas permukaan laut. Kondisi geografis ini, tidak berbeda jauh dengan Negeri Belanda yang sebagian besar wilayahnya, terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian ± 321 m di atas permukaan laut.
Selain itu, kondisi alam Kota Gorontalo khususnya ketika Belanda datang juga mirip-mirip dengan negeri Belanda yang mudah digenangi air, berada di tepi laut dan berada di sebuah lembah yang terdapat banyak pohon-pohon yang menjulang tinggi dengan rawa-rawanya yang berstektur basah.
Sampai sekarang, masih bisa ditelusuri nama-nama kampung yang menggambarkan kondisi Kota Gorontalo ketika itu, seperti Kelurahan Ipilo, yakni nama pohon yang menjulang tinggi, Kel. Biawa’o, Kel. Talumolo, ada juga Tambuala dan sebagainya. Bahkan jauh sebelum Belanda datang, di Gorontalo terdapat Linula atau kerajaan “Hulonthalangi” yang merupakan padanan dari “huta lohu-lohu, langi-langi” (dataran rendah yang tergenang) yang juga menjadi bukti, bahwa memang Gorontalo memiliki kemiripan dengan kondisi geografis negeri Belanda.
Kedua, Ditinjau dari segi bahasa, nama resmi negara Belanda adalah Nederland atau dalam Bahasa Inggris disebut Netherlands. “Neder artinya Rendah “Land”artinya” tanah atau daratan. Namun dibalik itu, negara ini juga memiliki nama lain yang cukup populer di kalangan masyarakat Eropa, yakni dikenal sebagai negeri “Holland”.
Istilah ini berasal dari kosakata Portugis, Holanda, olanda atau dalam Bahasa Inggeris menjadi Hotland, yang artinya tanah atau negeri yang berpohon-pohon. Istilah “Holland” kemudian diabadikan menjadi nama 2 Provinsi, yakni Provinsi Noord-Holland (Holland Utara) dan Zuid-Holland (Holland Selatan).
Bahkan mulai abad XVII orang-orang Nederland lebih bangga menyebut mereka sebagai bangsa “Holland” karena 2 Provinsi yang menyandang kata Holland di atas, ternyata berkembang pesat, menjadi pusat kekuatan ekonomi dan maritim di seluruh dunia.
Tidak heran jika dalam perkembangannya istilah “Holland” lebih terkenal dibandingkan dengan “Nederland”.
Sementara Nama atau istilah “Belanda” hanya terkenal di Indonesia. Belanda berasal dari kata “Belahnde” (belah artinya memecah, nde artinya keluarga). Hal ini merupakan hasil muzakarah 50 ulama se rumpun Melayu yang didakan di jalan Pagar Alam, Muara Enim Sumatera Selatan pada tahun 1650.
Hasil Muzakarah Ulama ini kemudian menyebar luas ke seluruh tanah jajahan sehingga ada semacam kesepakatan bersama untuk menyebut bangsa ini sebagai BELANDA, yakni negara yang dianggap pemecah belah bangsa terutama dari rumpun keluarga Melayu.
Dari uraian di atas, maka pendapat yang mengatakan awal mula nama “Hulondtalo” berasal dari kata “Holland-Talo” yakni negerinya Holland di Kerajaan Tallo telah mendekati kebenaran.
Mengapa ada kata Talo? Pertanyaan ini juga memiliki jawaban dari fakta sejarah yang ada. Dalam banyak literatur disebutkan, sebelum melakukan ekspansi ke Gorontalo, Belanda terlebih dahulu berhasil menaklukkan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo di Makassar pada tahun 1667. yang ditandai dengan “Perjanjian Bungaya” pada 18 November 1667.
Kerajaan Gowa dan Tallo adalah dua kerajaan besar yang juga disebut sebagai “Kerajaan Kembar” yang menjadi cikal bakal Kesultanan Makassar.
Namun kedua kerajaan ini, pernah terlibat konflik yang cukup panjang dan nanti berakhir pada tahun 1576, setelah adanya kesepakatan yang dikenal dengan “Rua Karaeng se’reata” atau dua raja tapi satu orang, yakni Raja Gowa menjadi Sombawa (Raja tertinggi) dan Raja Tallo menjadi “pembicara buta” yang selalu terlibat aktif dalam perluasan wilayah.
Itulah sebabnya, kerajaan Tallo memiliki wilayah kekuasaan hingga ke Sumbawa, Lombok, Kalimantan Timur, Maluku, Sulawesi Utara dan Timor.
Semenjak perjanjian Bungaya itulah, maka pemerintahan Belanda (VOC) untuk wilayah Sulawesi-Maluku-Sumbawa-Lombok-Kalimantan Timur berpusat di bekas Kerajaan Tallo, di mana saat itu Harun Arrasyid, Raja Tallo terakhir beserta keluarganya telah mengungsi ke Sumbawa.
Sebagai pusat kekuasaan VOC, maka setiap “Raja-Raja Boneka” yang diangkat oleh Belanda di daerah-daerah taklukan di wilayah Sulawesi, Maluku, Ternate dan wilayah kekuasaan Gowa-Tallo, termasuk Gorontalo tentunya, dilantik oleh Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di bekas Kerajaan Tallo.
Dalam pelantikan tersebut, seorang Raja “boneka” dinobatkan menggunakan “Crown Pet”, yakni Topi kebesaran Raja yang menunjukkan bahwa raja dan rakyatnya tersebut telah takluk kepada Belanda.
Itulah sedikitnya uraian tentang asal mula nama Gorontalo sebagai “Hulondtalo” (Negeri Holland di Kerajaan Tallo) yang diharapkan menjadi referensi sejarah, dalam hal sebagai berikut :
Pertama, Istilah “Hulondtalo”nanti muncul pada abad XVI seiring kedatangan VOC Belanda di daerah ini yang kebetulan, pusat kekuasaannya untuk wilayah Sulawesi dan Maluku berada di daerah bekas kerajaan Tallo.
Namun yang penting dicatat, bahwa kala itu masyarakat Gorontalo sudah mengenal istilah “Hulonthalangi” yang sudah tercetus sejak abad XIII, yakni nama sebuah Linula yang didirikan oleh Humalanggi di wilayah Telaga dan wilayah Kota Gorontalo sekarang.
Jika dicermati, kata Hulondtalo yang tercetus dan dilafalkan oleh orang Belanda di Gorontalo memiliki kesamaan makna dan arti dengan istilah “”Hulonthalangi” yang menggambarkan kondisi geografis Gorontalo kala itu.
Kedua, pemerintah dan masyarakat sudah saatnya untuk memulai menulis kata “Gorontalo” ke dalam bahasa aslinya dengan benar, yakni HULONDTALO bukan HULONTALO, HULONTHALO, HULONDALO atau HULONTDALO. Dengan begitu, akan ada keseragaman sehingga tidak membingungkan, terutama bagi generasi muda dan tidak menimbulkan pertanyaan bagi mereka yang bukan Gorontalo.
Ketiga, dengan pemaknaan ini, maka Pemerintah dan masyarakat, dapat menyadari bahwa Gorontalo merupakan daerah yang rawan terhadap bencana banjir sehingga ke depan perlu upaya-upaya konkrit untuk pencegahannya.
Paling tidak, Pemerintah Kota Gorontalo, Kab. Gorontalo, Boalemo, Pohuwato, Gorontalo Utara dan Bone Bolango, perlu belajar dari cara atau metode negeri Kincir Angin Belanda dalam membangun dan menata kotanya yang sejauh ini mampu mengantisipasi resiko bencana alam dan malah menjadi pusat perhatian dunia karena keelokannya.
Dengan kata lain, pembangunan yang tengah digalakkan sekarang, ke depan tetap memprioritaskan aspek lingkungan yang lestari agar tidak memunculkan persoalan kemanusiaan di kemudian hari.
Selain itu dengan menyadari kondisi geografis Gorontalo yang rawan terhadap bencana banjir, diharapkan dapat memunculkan kesadaran kolektif masyarakat untuk berperan serta, minimal memiliki kesadaran yang tinggi, dalam menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebersihan sungai, saluran air dengan tidak membuang sampah sembarangan.(*)







