Scroll untuk baca artikel
Humaniora

Mengembalikan dan Memaknai Kembali Tradisi “Hu’O Lo Ngango”

721
×

Mengembalikan dan Memaknai Kembali Tradisi “Hu’O Lo Ngango”

Sebarkan artikel ini

Salah satu tradisi warisan leluhur Gorontalo yang sudah sangat sulit dijumpai saat ini adalah Tradisi “Hu’o Lo Ngango”.

Oleh :
Ali MobiliU

PADAHAL tradisi ini mengandung pesan-pesan moral, nilai dan makna yang sangat penting untuk dihayati sebagai bagian dari pengembangan budi pekerti yang luhur.

Di era sebelum tahun 2000-an, terutama di kampung-kampung yang masih memegang teguh tradisi asli Gorontalo, ketika ada hajatan, seperti pesta pernikahan, sunatan, pembeatan dan acara lainnya, terdapat salah seorang petugas yang khusus menyambut dan menjamu tamu dengan penuh keramahan sembari menyuguhkan sebuah wadah seperti gelas yang di dalamnya terdapat Cengkeh (Hungola’a), Kayu Manis (Ayu Molingo) yang sudah dicincang kasar) dan dicampur dengan Gula Pasir.

Para tamu yang mendapat suguhan tersebut kemudian mengambil sepotong cengkeh, Kayu Manis dan gula seadanya untuk dikunyah seperti permen.

Itulah yang disebut dengan “Hu’o Lo Ngango” yang secara bahasa memiliki arti sebagai “pembuka mulut”.

Namun tradisi ini bukan sekadar pembuka mulut, melainkan membawa pesan dan isyarat atau pertanda, bahwa seorang tamu yang mendapat suguhan tersebut, telah diterima dengan senang hati oleh tuan rumah yang memiliki hajatan.

Hal itu juga merupakan suatu pertanda, bahwa tamu sudah dapat melakukan obrolan dengan tamu lainnya.

Lebih jauh dari itu, tradisi Hu’o Lo Ngango mengandung makna dan pengajaran simbolik yang begitu luhur untuk diresapi dan dihayati oleh generasi Gorontalo, terutama dalam bersikap dan berperilaku di tengah masyarakat.

Jika ditelaah lebih mendalam, terdapat beberapa nilai pengajaran yang dapat dimaknai dari Tradisi “Hu’o Lo Ngango” diantaranya :

Pertama, Cengkeh, jika dikunyah rasanya pekat dan tidak enak di mulut. Namun rasa pekat tersebut dapat dinetralisir oleh rasa manis yang bersumber dari kayu manis dan gula.

Hal ini menunjukkan bahwa para leluhur Gorontalo hendak mengajarkan kepada keturunan-keturunannya, bahwa dalam hidup ini, terdapat 2 fenomena yang datang silih berganti yang menyertai hidup dan kehidupan seseorang.

Baca Juga:  Gorontalo Punya Nama Asli? Ini Fakta yang Jarang Diangkat!

Jika mendapatkan suatu musibah atau persoalan yang membuat hati gundah gulana, bersedih, marah, uring-uringan dan lain sebagainya, maka jalan terbaik adalah harus tetap sabar, tidak boleh mengeluh dan tetap bersyukur.

Karena sesungguhnya, nikmat yang kita terima selama hidup ini, jauh lebih banyak dari sekadar masalah yang kita rasakan saat ini.

Dengan kata lain, Cengkeh merupakan simbol kepekatan hidup dan kayu manis serta gula menjadi simbol manisnya kehidupan yang dapat menjadi penetralisir atau sebagai benteng dari rasa putus asa.

Karena terkadang, sudah menjadi sifat manusia, ketika menemui kesulitan, mendapatkan masalah seringkali berubah menjadi kasar dan pemarah, bahkan tidak jarang melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji.

Leluhur Gorontalo melalui tradisi Hu’o Lo Ngango, mengajarkan kepada generasi penerusnya bahwa hidup adalah pergumulan antara yang pekat dan manis yang datang silih berganti.

Kedua, nilai simbolik dari Tradisi Hu’o Lo Ngango adalah, bahwa cengkeh dan kayu manis adalah jenis rempah-rempah anti kuman yang dapat menghilangkan bau mulut.

Bau mulut dalam konteks tradisi Hu’o Lo Ngango, tidak hanya sekadar menghilangkan bau mulut saat duduk dan berbicara dengan tamu lain di suatu hajatan.

Tapi lebih dari itu, tradisi ini hendak memberi pesan kepada generasi Gorontalo untuk senantiasa menjaga “mulut” agar tidak mengeluarkan aroma tidak sedap berupa perkataan yang sia-sia, ungkapan-ungkapan yang mengandung “virus” yang dapat menyakiti hati orang lain, mengumpat, memfitnah, menggunjing dan lain sebagainya seperti ungkapan “mulutmu harimaumu”, melainkan selalu mengeluarkan kata-kata yang manis, lembut dan penuh keramahan.

Walaupun merasa tersakiti, didzolimi dan dihina oleh orang lain yang direpresentasi oleh cengkeh yang rasa pekat, tetap menghadirkan dua rasa yang manis, yakni gula dan kayu manis sehingga tetap bersabar dan tidak membalas mengeluarkan kata-kata yang tidak sedap yang dapat menyinggung dan menyakiti hati orang lain.

Baca Juga:  "Moda'a Taluhu Moheyi Pombango" dan Jalan Merekonstruksi Kelembagaan Adat di Tingkat Provinsi

Itulah sebabnya, para orang tua dulu ketika bereaksi terhadap sesuatu yang membuatnya tidak senang, atau mendapatkan suatu perlakuan yang membuat hatinya tersinggung, selalau disampaikan dengan ungkapan-ungkapan yang halus.

Contoh, ketika seorang tamu yang datang di rumah kemudian pergi begitu saja atau tidak pamit, maka orang tua dulu cukup berujar “ Yamola dila Lo hipo” yang terkadang diucapkan dengan sembari tersenyum.

Demikian juga dalam perkara-perkara lainnya, seperti di lingkungan pemerintahan zaman dulu, biasanya para pemangku adat ketika melakukan “protes” terhadap sesuatu kepada Olongia Lo Lipu, selalu disampaikan dan diselesaikan dengan cara-cara yang baik, yang terkadang ekspresi hati yang gundah gulana misalnya, diucapkan dalam bentuk tuja’i atau disampaikan melalui isyarat gerakan-gerakan badan tertentu yang membuat lawan bicara tidak tersinggung melainkan langsung paham dan mengerti apa yang dimaksud.

Itulah keluhuran budi pekerti orang Gorontalo zaman dulu yang perlu diteladani oleh generasi Gorontalo.

Dengan begitu, tradisi “Hu’o Lo Nango” masih sangat relevan untuk terus dihidupkan dan dimaknai kembali dalam kehidupan masyarakat Gorontalo sebagai salah satu wahana pelestarian sekaligus pengajaran kepada generasi Gorontalo bahwa dalam hidup dan kehidupan ini yang paling penting adalah menjaga mulut, tidak mudah mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang dapat menyakiti hati orang lain, memaki, mengumpat, menggunjing, memfitnah dan mengeluarkan kata-kata kasar lainnya atau menyampaikan berita bohong (hoaks) yang membuat orang lain tersakiti dan dirugikan.

Apalagi untuk menghidupkan tradisi ini, tidak membutuhkan biaya yang banyak, sangat murah meriah, hanya butuh gelas, cengkeh,kayu manis dan gula pasir yang mudah didapat serta murah harganya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *